Desa Solewatu: Dari 0 menjadi 2.500.000 Setelah 5 Jam (Part 1)

Pemandangan alam dan pesona kearifan lokal serta masyarakat yang bermukim di sudut-sudut indahnya pedesaan menginspirasi saya menulis artikel ini sebagai ekspresi mencintai desa, mencintai peradaban serta budaya yang terlahir dari alur pikir masyarakat tradisional yang menjungjung tinggi nilai keseimbangan, nilai sosial dan kesahajaan.

Bersama dengan seorang teman (Bang Chandra) yang juga mencintai desa dengan mengendari kuda besi “si putih” kami berangkat menuju desa Solewatu kecamatan Tinondu kabupaten Kolaka Timur dengan jarak tempuh ± 70 km dan durasi perjalanan normal 4 jam dari Bandar Udara Haluoleo Kendari. Meskipun hanya berdua tapi sepanjang perjalanan suasana riang gembira tetap menghiasi wajah kami.

Sepanjang perjalanan kami terus bercerita dengan topik yang bermacam-macam, mulai dari aktivitas kedinasan, pengalaman masing-masing sampai pada topik yang juga menjadi tujuan kami menuju ke desa Solewatu yaitu penguatan kelembagaan petani.

Perut yang belum diisi sejak berangkat dari Bandara mulai meminta haknya hingga saat sampai di Unaaha, ibukota dari kabupaten Konawe kami berhenti di sebuah warung makan. Dengan sajian menu makanan ayam kampung khas Unaaha ditambah secangkir kopi rasanya energi kami sudah pulih kembali untuk melanjutkan perjalanan.

Dari kota Unaaha masih memerlukan waktu kurang lebih 3 jam lagi untuk sampai di lokasi tujuan meski demikian semangat tetap harus membara apalagi kami sudah merefreshnya dengan kopi pahit tanpa gula, aasyiiik…!! Saya salut dengan Bang Chandra sebab walau belum sempat istirahat setelah melaksanakan tugas di Toraja-Sulawesi Selatan namun semangatnya tak sirna sedikit pun untuk melanjutkan tugasnya di Sulawesi Tenggara hingga di sebuah pelosok desa yang nantinya akan kami datangi. Karena semangat beliau, akhirnya saya pun terbawa suasana hingga memacu “si putih” dengan kecepatan rata-rata 80-100 km/jam.

Tak terasa kami sudah sampai di kecamatan Mowewe perbatasan antara kabupaten Kolaka Timur dan Kolaka. Saya melihat alamat (google maps) yang dikirimkan oleh teman melalui whatshap namun rupanya alamat yang dikirmkan masih relatif jauh dari lokasi tujuan. Bukan tak percaya dengan google maps tapi pengalaman pernah terjadi rute yang ditunjukkan google maps  kurang tepat dari lokasi yang dituju. Pepatah kuno mengatakan “malu bertanya, sesat di jalan”, agar tak seperti pepatah tersebut akhirnya kami bertanya pada seorang anak muda yang kebetulan sedang memarkirkan motornya di tepi jalan.

“Pak,…mohon maaf, mau nanya jalan menuju Balai Desa Solewatu lewat mana ya pak…?, tanyaku kepada pemuda tersebut. Tapi pemuda itu bukan menunjukkan arah atau jalan malah memberikan ekspresi yang menurut kami anggap lucu. “hhooooo…masih jauh deela, di gunung hae...” kata pemuda itu dengan khas logat Tolaki sambil menunjuk ke atas.   Inilah yang kami anggap lucu karena kami bertanya jalan menuju balai desa lewat mana tapi dijawab oleh si pemuda “masih jauh” padahal kami tidak tanya masih jauh atau dekat, hehehe…

“Baik Pak, terima kasih tapi arahnya lewat mana ya Pak menuju ke Balai Desa..? Kembali kami bertanya kepada si pemuda. Diberikanlah petunjuk bahwasanya jalan menuju balai desa Solewatu kami harus melanjutkan perjalanan sampai pada simpang empat lalu belok kanan dan setelah itu ambil jalan lurus sejauh kurang lebih 10 km.

Bermodalkan petunjuk dari si pemuda tadi, kami melanjutkan perjalanan dan ternyata kami baru tahu ekspresi si pemuda tadi memang cukup beralasan sebab jalan menuju desa Solewatu rupanya menanjak dan berkelok-kelok.

Disisi kanan “si putih” terdapat jurang dan jalan hanya bisa dilewati 1 kendaraan roda empat. Dengan gesit “si putih” meliuk-liuk menyisiri jalan yang berkelok namun tak ada sedikit pun rasa ngeri ada pada bang Candra justru sesekali saya melihatnya ia nampak tersenyum dan memuji Kemahabesaran Tuhan sebab terpampang di depan mata suatu pemandangan alam desa yang begitu indah dan menawan. Dari ketinggian kami melihat pemandangan yang sangat indah, ada pegunungan, danau, sungai, sawah, dan hutan yang rindang.

Setelah melewati perjalanan yang seru itu, akhirnya kami sampai juga di balai desa Solewatu. Rasa lelah sirna ketika Kepala Desa dan aparatnya serta seluruh warganya yang sudah hadir di balai desa menyambut kami dengan senyuman indah yang keluar dari bibir mereka. Rasa bahagia tak berhenti sampai disitu karena bertemu dengan rekan-rekan kami yang sudah lebih dulu tiba di lokasi bahkan sudah memulai kegiatan antara lain: Fasilitator LEM La Ode Amin, Kabid Produksi Disbun Koltim Abdul Jamal, Kabid PSDM Disbun Koltim Sofyan, Koordinator TKP-PLP TKP Tasman Pandewa, dkk. Wajah mereka memancarkan kasih sayang, yang membuat kami rasa lelah dalam perjalanan sekitar 4 jam tak lagi terasa.

Kami diperkenalkan satu per satu oleh Pak Amin selaku Fasilitator yang memandu acara pada saat itu. Selanjutnya, Bang Chandra diberi kesempatan untuk menyampaikan pokok-pokok kebijakan Ditjenbun terkait dengan penguatan kelembagaan petani melalui Lembaga Ekonomi masyarakat (LEM). Setelah itu, tanpa informasi sebelumnya alias “kandang paksa”, Pak Amin mendaulat saya untuk menyampaikan materi uji kompentensi atau biasa disebut dengan checklist kepada peserta (warga desa).

Tepat jam 5 sore materi check list selesai dilaksanakan kemudian Pak Amin mengambil alih acara untuk membuat kesepakatan dengan warga desa terkait dengan pertemuan berikutnya. Seluruh warga meminta agar dilanjutkan pada malam hari dimulai pukul 20.00 Wita atau jam 8 malam. Setelah terjadi kesepakatan, seluruh warga desa dipersilahkan kembali ke rumah masing-masing sedangkan kami diarahkan oleh Pak Kades untuk menuju ke rumahnya…

Bersambung…!!
Gant

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Desa Solewatu: Dari 0 menjadi 2.500.000 Setelah 5 Jam (Part 1)"

Posting Komentar

Terima Kasih atas kunjungan dan komentarnya

Tag Terpopuler